Subscribe:

Minggu, 25 Maret 2012

Dengar dan Taat Kepada Pemimpin


Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
“Mendengar dan taat para kepada imam-imam dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang buruk, dan yang mengatur khilafah (kepemimpinan), dan manusia mendukungnya serta ridha kepadanya, atau orang yang mengalahkan dan menguasai mereka lewat peperangan hingga ia berhasil menjadi khalifah dan disebut Amirul Mukminin.”
Ini merupakan prinsip umum untuk wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa.
Dimaklumi bahwa adanya pemimpin ditengah manusia untuk memimpin, mengatur, mengurus kepentingan manusia adalah keperluan yang mendesak dan harus ada ditengah kaum muslimin.

Maka dari itu wajib didalam syariat islam untuk menetapkan adanya pemimpin sebagaimana diterangkan dalam Alqur’an maupun Sunnah, dan didalam sejarah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal para shahabat telah memilih Abu Bakar sebagai khalifah sebelum Rasulullah dimakamkan, karena itu yang mereka pahami dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Inilah suatu keyakinan penting tentang adanya kepemimpinan ditengah manusia, dan diantara yang menunjukkan pentingnya Rasulullah telah menerangkan dalam hadits yang jumlahnya mutawatir tentang wajibnya mendengar dan taat pada penguasa, diantaranya dari Alqur’an ;
“Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan kepada ulil amri diantara kalian”
(An-Nisaa : 59)
Ketaatan kepada ulil amri diletakkan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasulnya, ini menunjukkan penting dan wajibnya, karena itu didalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Siapa yang taat pada pimpinan maka dia telah taat kepadaku, siapa yang bernaksiat kepada pimpinan maka dia telah bermaksiat kepadaku”
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat dengan wasiat yang menggetarkan hati dalam hadits Irbadh bin Sariyah radhiallahu’anhu, membuat air mata berlinang, seakan-akan seperti wasiat perpisahan, maka Rasulullah berwasiat ;
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pimpinan walaupun pimpinan kalian adalah seorang budak habsy”,
Dalam riwayat yang lain
“Walaupun pimpinan kalian seorang budak yang cacat”.
Kita maklumi seorang tidak layak menjadi pemimpin, oleh karena itu ketaatan kepada pimpinan disini berlaku pada semua pemimpin, tidak disyaratkan pemimpin tersebut adalah pemimpin yang baik (shalih), tetapi semua pemimpin yakni yang baik maupun yang fajir (dzolim), kita diperintahkan untuk mendengar dan taat sepanjang perintahnya dalam hal yang ma’ruf (baik) dan tidak dalam hal maksiat.
Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya didalam hal yang ma’ruf”
Imam Ahmad menjelaskan siapa saja yang menjadi pemimpin, disebutkan ;
Amirul mukminin, sulthon, waliyul amr dan seterusnya, dan inilah pengertian pemimpin didalam syariat islam.
Dan disebut pemimpin itu sah dengan cara;
Pertama
Dipilih dan disepakati oleh kaum muslimin yang diwakili oleh ahlul halli wal aqdi, contoh ; Abu Bakar ash Shiddiq, beliau dibaiat oleh para shahabat (sebagian para shahabat) dan seluruh para shahabat yang lain ikut membaiat dan mengakui kepemimpinan beliau.
Ini adalah cara yang sah dalam syariat seorang dianggap sebagai pemimpin.
Kedua
Pelimpahan, yakni seorang pemimpin yang ada melimpahkan kepada seseorang untuk menggantikannya setelah ia meninggal.
Ini juga dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bin Khattab dan semua para shahabat setuju (ijma’), menunjukkan bahwa ini adalah cara yang benar, dan sistem ini berjalan ditengah para shahabat seperti Mu’awiyah menyerahkan kekuasaan kepada putranya, dan hal ini tidak dipermasalahkan oleh ahlul ilmu.
Ketiga
Mengangkat pedang untuk meraih kepemimpinan dan menduduki kekuasaan yang dia disebut sebagai penguasa, walaupun dia meraih kekuasaan dengan cara yang tidak benar maka dia tetap sah dianggap sebagai pemimpin dan berhak untuk didengar dan ditaati (dalam hal yang ma’ruf).
Jadi siapa saja yang telah memenuhi syarat menjadi pemimpin wajib diyakini dia sebagai pemimpin.
Didalam sebuah riwayat Imam Ahmad berdalilkan dengan riwayat yang tsbit dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu bahwa beliau pernah shalat dibelakang pemimpin yang berkuasa dengan cara ia memenangkan kekuasaan, dan didalam sejarah masyhur diceritakan antara Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin Zubair, pada waktu itu mereka sama-sama berkuasa atas daerahnya masing-masing, tapi setelah Abdul Malik menggulingkan Ibnu Zubair dan menduduki kekuasaannya maka setelah itu Abdullah bin Umar membai’at Abdul Malik bin Marwan dan tidak seorang shahabatpun pada masa itu yang menyelisihi hal ini.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
“Siapa yang berkuasa merebut khalifah dengan pedangnya sehingga ia sah disebut sebagai khalifah dan manusia telah bersepakat didalamnya maka ia dianggap sebagai khalifah”.
Asy Syatibi rahimahullah berkata didalam Al-I’tishom :
“Al Imam Yahya bin Yahya an Naisaburiy, beliau ditanya tentang baiat kepada kepemimpinan yang sewenang-wenang, apakah bai’at kepada mereka makruh ?
Beliau jawab; tidak, bukan bai’at yang makruh”, bukankah beliau pemimpin yang sewenang-wenang ? Jawab beliau ;
“Baiat itu benar karena Ibnu Umar membaiat Abdul Malik bin Marwan walaupun Abdul Malik mengambil kekuasaan dengan pedang,
demikian Imam Malik mengabarkan kepadaku”.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Telah sepakat para ulama ahli fiqh tentang wajibnya taat kepada penguasa yang berkuasa dengan paksa dan wajib berjihad dengannya sesungguhnya ketaatan kepadanya itu lebih baik daripada melakukan kudeta terhadapnya, ketaatan kepadanya terdapat didalamnya penjagaan terhadap darah kaum muslimin dan terdapat didalamnya menenangkan fitnah yang terjadi.”
Ini merupakan pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yakni siapa yang telah sah menjadi penguasa maka dia didengar dan ditaati, sebab kemaslahatan pada dirinya lebih didahulukan daripada kesalahan dia secara pribadi dalam menjadi penguasa dengan cara yang salah, karena apabila dilakukan kudeta terhadapnya maka pasti akan terjadi fitnah yang besar, pertumpahan darah kaum muslimin dan ini bertentangan dengan makna keagungan syariat islam dan sangat bersebrangan dengan indahnya islam.
Seperti sekarang ini, pemimpin tidak diangkat dengan cara yang syar’i, yakni melalui pemilu (demokrasi) yang kita maklumi ini adalah cara yang salah dalam mengangkat pemimpin, namun setelah sah adanya dia menjadi pemimpin maka wajib bagi kaum muslimin untuk mendengar dan taat.
Imam Ahmad pernah ditanya ;
“Siapakah pemimpin itu ?” Kata beliau ; “Ketika kau masuk kedalam sebuah negeri dan apabila ditanyakan kepada penduduk negeri dan mereka menjawabnya maka itulah pemimpin”.
Begitu pula di negara ini, apabila ditanya siapa pimpinan negara ini ? Maka dijawab ; presiden.
Inilah makna pemimpin yang wajib didengar dan ditaati, bukan pemimpin-pemimpin yang bersembunyi dibalik negeri yang memecah belah persatuan kaum muslimin.
Ini merupakan kesepakatan ulama dari zaman kezaman tanpa ada silang pendapat.
Allahu a’lam
Abu Rafi’ Al-Majakartiy
(Kajian Ushul Assunnah, ust.Dzulqarnain, Makassar)

0 komentar:

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "